Duhai Acehku, kenapa kau ingin Merdeka?

24 05 2009

Ketika menulis judul wacana ini, saya agak sedikit merasa terancam oleh teman-teman maupun pihak separatis sendiri yang menyuarakan agar aceh memang harus merdeka. Tapi saya yakini kebebasan dalam menyuarakan hati nurani akan selalu imbas dengan kesan yang akan dialami satu saat nanti.

Duhai Acehku, kenapa kau ingin Merdeka?
apa karena berpikir pemerintah pusat mencuri sebahagian hasil alammu?
atau berpikir kita akan lebih maju jika tidak bersandar pada NKRI?

Kita perlu secara mendasar mengkaji ulang siapa dibalik semua ini, apakah memang benar saudaraku di Aceh sana atau adanya pihak asing yang ingin memecah belah kita?

Teori adu domba telah lama dipraktekkan untuk memecah belah suatu bangsa, sayangnya sebagian besar dari kita hanya mengingat kejadian dan waktunya saja, terukir manis didalam buku sejarah sekolahan, tanpa memahami apa tujuan terselubung dibalik semua itu.

Pemilupun telah berlalu, suara partai lokal Aceh begitu vokal merebut semua kursi anggota dewan, ini pertanda bahwa perjuangan untuk merdeka belum selesai, melalui kursi dewanlah Pejabat Aceh melanjutkan perjuangannya, inilah yang paling saya takuti, ketika suara Anggota dewan bulat untuk mendispersi Aceh keluar dari NKRI, maka pemerintah pusat tidak bisa bertindak lebih, karena Indonesia adalah negara hukum. Berbeda ketika dulu melalui peperangan yang memaksa pemerintah pusat bertindak untuk mengamankan Aceh. Lalu bagaimana jika ini terjadi, bagaimana jika Aceh benar-benar merdeka.

Saya ikut bersyukur Aceh telah mendapat hak Otonomi untuk mengurus daerahnya sendiri, Alhamdulillah Syari’at Islam telah menjadi kebanggaan di tanah Kuta Radja. Singkatnya Aceh sudah seperti anak emas bagi bangsa Indonesia, NKRI sudah mempertahankan Aceh agar tetap bersatu dengan segala cara sampai ke Helsinki sana, mendamaikan kita, mengamankan rakyat  Aceh, Indonesia-pun ikut menanggis ketika Tsunami menimpa Serambi Makkah. Lalu apalagi Aceh lon sayang(Acehku sayang)?

Dendam segitiga masih terasa antara pihak pemerintah, rakyat Aceh dan mantan gerakan separatis Aceh, Trauma DOM (Daerah Operasi Militer) masih tergaung dalam pikiran Rakyat. Memang benar adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab telah menghakimi rakyat Aceh seenaknya, tentunya itu semua perbuatan pemerintah pusat yang terpaksa mengambil jalan satu-satunya untuk tidak merelakan Aceh pergi, karena apa? karena Aceh ingin Merdeka, namun bukankah jalur diplomasi telah banyak digelar sebelumnya, tapi kita akui watak dan sifat Rakyat Aceh memang terkenal keras dan tidak menerima tawaran-tawaran pemerintah pusat, mutlak ingin merdeka, lalu siapa yang menjadi korban DOM? ya, Rakyat Aceh.

Sadarkah kita bahwa Indonesia merupakan negara besar Umat Muslim, dengan merdeka berarti sedikit merengangkan jarak kita dengan kekuatan besar itu, Sungguh jika suatu saat nanti Aceh Merdeka, kita akan menjadi bangsa kecil yang mudah begitu saja diatur Bangsa lain. Maka singkirkan kepentingan politik itu dan yakinlah pada kekuatan besar itu.
aku melihat pagi
sayangnya tiada yang menanggis
akupun melihat seorang Ibu
bagaimana dia merasakannya?
terkadang semua menjadi buta dan gila
tapi bagaimana dia merasakaannya?
naluri cinta dan damai.

kenapa ??

Mereka, yang disponsori oleh anggota GAM dan sekian banyak orang Aceh, ingin merdeka tidak karena emosi sesaat, namun berdasarkan beragai faktor.

Pertama, Aceh merasa tidak pernah dijajah oleh bangsa manapun. Keyakinan ini berdasarkan realitas di lapangan, bahwa sejak jaman Iskandar Muda, jaman Belanda, Jepang, dan NKRI, mereka selalu melakukan perlawan, perang fisik terhadap kekuatan “asing” yang akan menjajahnya. Bahkan, NKRI dianggapnya sebagai negara imperialis, maka mereka memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh. Inilah yang sering dikatakan kombatan GAM. Apalagi, dunia internasional, mengakui Aceh sebagai wilayah yang merdeka, terutama dari Traktat London 1824.

Kedua, ketika proklamasi 17 Agustus 1945 berkumandang, Aceh menyumbangkan pesawat terbang pertama RI yang uangnya dikumpulkan dari pintu-ke pintu, dari kantong rakyat Aceh sendiri. Dan, mereka sepakat bergabung, melakukan revolusi fisik melawan Belanda bersama NKRI dengan kompensasi kalau Belanda sudah kalah, maka Aceh akan mengurus pemerintahannya sendiri dengan penerapan syariat Islam. Soekarno tidak menepati janjinya, Aceh sakit hati. DI TII berkobar.

Ketiga, setelah perlawanan DI TII selesai, janji otonomi syariat Islam bagi Aceh tidak pernah terealisir. Aceh merasa dibohongi. Sementara itu, usahawan sukses di Amerika yang tidak dapat tender di tanah kelahirannya sendiri, marah dan mengangkat senjata. Bisnismen itu bernama Hasan Tiro, dan dengan tegas ingin pisah dari NKRI, bukan hanya minta otonomi syariat Islam seperti Daud, tapi merdeka, total freedom. 4 Desember 1976 GAM berdiri.

Keempat, seperti pada akhir tahun 1950-an, pemerintah RI melihat geliat protes daerah sebagai sebuah gerakan sparatis, dan berubahnya orde, tidak menghilangkan cara militeristik tersebut. Sejak awal tahun 1977, bahkan mulai tahun 1989-1998 dengan jaring merahnya, DOM, militer secara sitematis membungkam GAM sekaligus memperkosa wanita Aceh, dan membunuh sekian banyak warga Aceh. Tentara di Aceh tidak hanya tegas untuk NKRI, namun beringas bagi yang bersimpati dengan GAM. Pemandangan yang lumrah awal perlawanan ACEH, mayat-mayat bergelimpangan di pinggir jalan, bahkan nyaris setiap hari. Kenyataan ini, semakin meyakinkan bahwa NKRI dengan tentaranya: ABRI, tervonis zolim terhadap Aceh.

Kelima, mereka yakin bahwa sumber daya alamnya telah diambil oleh RI karena sentralistik Orde Baru telah meresap ke ranah ekonomi, dan pembagiannya tidak seimbang. Di sisi lain, kekerasan yang dilakukan ABRI di tanah rencong, semakin mengakumulasikan kebencian terhadap NKRI. Akumulasi dari merka inilah yang semakin menguatkan GAM di akar rumput. GAM semakin kuat.

Keenam, sebagai bagian dari MOU Helsinky, GAM segera membentuk partai lokal: Partai Aceh. Partai yang diisi oleh mantan anggota GAM dan simpatisannya, langsung mendapat suara terbanyak, simpati seperti sungai yang banjir bandang. GAM tidak pernah dibubarkan dari sanubari kombatan GAM, dan dari lubuk hati rakyat Aceh yang tersakiti oleh tentara, bahkan bendera Partai Aceh serupa dengan bendera GAM. Kini GAM diatas angin, maklum, rakyat Aceh sudah muak dengan yang berbau NKRI, dan partai nasional seakan tidak berbuat apa-apa selama ini. GAM akan tetap menguasai percaturan politik, bahkan sosial di Aceh, setidaknya 2-5 tahun ke depan.

Ketujuh, total freedom yang akan dicapai GAM kini sudah mendapat pijakan politis yang kokoh. Peralihan strategi dari sejata ke politik adalah sebuah kedewasaan berpolitik sekaligus usaha pisah dari NKRI. GAM dengan Partai Aceh-nya, terus menerus membangun kekuatan politik, dari akar rumput, sehingga suara terbanyak dapat diperoleh. Jabatan publik akan terisi oleh orang GAM. Selanjutnya akan meluas, menguasai parlemen DPRD NAD. Kalau sampai disini, GAM sudah menang. DPRD NAD akan mengeluarkan opsi REFERENDUM, dan Jakarta tidak bisa berbuat apa-apa. Suara rakyat adalah demokrasi, dari rakyat untuk rakyat. Dunia akan mendukungnya. Aceh menjadi negara, pisah dari NKRI.

Sumber: dari berbagai buku tentang sejarah dan politik Aceh, dan berita di televisi juga ulasan pada surat kabar.(suciptoardi.wordpress.com)


Actions

Information

One response

17 06 2009
Aulia

hanya tuhan yang tahu ….. 😀

Leave a comment